Al-Habib Al-Imam Al-Qutbh ‘Abdullah b. ‘Alwi Al-Haddad, berkata : “Hendaknyalah anda membentengi (imanmu), memperbaiki dan meluruskannya sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh golongan yang selamat di Akhirat (Al-Firqah An-Najiah). Golongan ini terkenal di kalangan kaum muslimin dengan sebutan golongan “Ahlus Sunah Wal-Jamaah“.
Mereka adalah orang-orang yang berpegang
teguh dengan cara-cara yang
dilakukan oleh Rasul Allah saw dan
Sahabat-sahabatnya.
Apabila anda perhatikan dengan fikiran yang sehat dan hati
yang bersih nash-nash (teks-teks) Al
Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan keimanan, kemudian anda pelajari perilaku para Salaf baik Sahabat maupun Tabi’in maka anda akan tahu dan yakin bahwa kebenaran akan berada di fihak mereka yang
terkenal dengan sebutan Al-Asy’ariyah, yang pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari,
yang telah menyusun kaidah-kaidah (keyakinan)
golongan yang berada di pihak yang benar serta telah meneliti dalil dalilnya. Itu pulalah aqidah yang telah disepakati oleh para Sahabat nabi serta
generasi generasi berikutnya dan para Tabi’in yang saleh dan itu
pulalah agidah orang-orang yang mengikuti
kebenaran di mana saja dan kapan saja. Aqidah dan keyakinan itu juga dianut
oleh semua ulama Tasawuf, seperti diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi
dalam risalahnya.
Imam Ahmad Al-Muhajir, kakek para Sadah
‘Alawiyyin, yaitu Imam Ahmad Al-Muhajir b. ‘Isa b.
Muhammad b. ‘Ali b. Imam Ja’far
Ash-Shadiq setelah memperhatikan munculnya berbagai macam bid’ah dan
berkecamuknya berbagai macam fitnah serta perselisihan faham di negeri Irak, beliau lalu berhijrah meninggalkan
negeri ini berpindah-pindah dari satu negeri
ke negeri yang lain hingga sampai ke Hadramaut di Yaman, kemudian beliau
tinggal di negeri ini sampai wafat. Maka Allah
telah memberkahi keturunannya sehingga terkenallah banyak tokoh dari keluarga
ini dalam ilmu, ibadah mari’fah dan kewalian.
Mereka tidak mengalami apa yang dialami oleh golongan-golongan Ahlul
Bait yang lain dengan mengikuti berbagai bid’ah dan faham yang sesat. Semua itu adalah berkat niat yang suci Imam Ahmad Al-Muhajir yang telah
melarikan diri dari fitnah, demi menyelamatkan agama dan aqidahnya dari pusat-pusat fitnah.
Semoga Allah membalas jasa baik
Imam
ini dengan sebaik-baiknya dan mengangkat derajatnya bersama datuk-datuknya yang
mulia di Surga Alliyin serta memberi kita taufik untuk mengikuti jejak dan langkah mereka dalam keadaan sehat wal’afiat, tanpa
merubah atau mendapat coba dan
fitnah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Maha Pengasih.
Madzhab Maturidiyah dalam hal ini sama
dengan Madzhah Asy’ariyah. Maka setiap
orang yang
beriman hendaknya membentengi aqidahnya
dengan menghafal (mempelajari) salah
satu aqidah yang disusun oleh seorang Imam yang telah disepakati keagungannya
serta kedalaman ilmunya. Saya rasa orang yang mencari pelajaran agidah semacam itu tidak akan mendapatkan
selengkap dan sejelas aqidah yang disusun oleh Imam AI-Ghazzali r.a. Aqidah ini
telah disampaikan pada bagian awal dari kitab “Qawa’id Al Aqo’id” dalam kitab
Al-Ihya’ (Ihya’ Ulum Addin - karya
Imam Al-Ghazzali). Maka hendaklah
anda menghafalnya ( mempelajarinya). Adapun jika anda kurang puas (dengan kitab
itu) hendaklah anda mempelajari “Ar-risalah Al-Qudsiyah “ yang tersurat pada pasal ketiga dalam Kitab Ihya’ tersebut.
Dalam
hal ini, hendaknya anda tidak terlalu berlebihan dalam mempelajari ilmu
“Tauhid” serta tidak perlu terlalu banyak memperbincangkannya dengan
semata-mata mencari hakikat (kebenaran) tentang ke Tuhanan, sebab
anda tidak akan memperolehnya melalui ilmu ini. Adapun jika anda ingin mencapai tingkat
ma’rifah, hendaknya anda mengikuti tharigah yang ditempuh para Salaf
(pendahulu) kita, yaitu dengan berpegang
teguh pada ketaqwaan baik lahir
maupun batin, merenungi dan mentadabburi ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits
Nabi serta riwayat orang saleh, berfikir tentang
kerajaan langit dan bumi dengan tujuan mengambil pelajaran dari padanya, mendidik
akhlaq serta memperhalus budi yang kasar melalui latihan-latihan rohani
(riyadhah), membersihkan cermin kalbu dengan banyak berdzikir, berpaling dari
soal soal yang melalaikan dari hal-hal tersebut. Apabila telah menempuh jalan
ini, Insya Allah anda akan mencapai
tujuan itu serta rnemperoleh apa yang diharapkan.
Dalam beberapa pasal dalam kitabnya, Al-Imam
Al-‘Aydarus menegaskan : ” Barang
siapa meyakini hulul (menitisnya Ruh Allah
dalam diri makhluk) atau menyatunya Tuhan dengan makhluk (wahdutul wujud), maka orang ini
telah menjadi kafir“.
Dalam sebagian pasal yang lain beliau menulis : “Aqidah yang kita anut adalah aqidah Asy’ariyah dan madzhah kita dalam Fiqh (hukum-hukum Agama) adalah
Madzhab Syafi’i, sesuai dengan Kitab Allah (Al Qur’an) serta Sunnah
Rasul Allah”.
Pada sebagian Risalah yang lain beliau menulis : “Allah adalah
Tuhan yang hidup kekal (hayyun) dan terus-menerus
mengurus makhluk-Nya (Qayyum),. Dialah
yang mewujudkan segala yang ada “. Pernyataan demikian sesungguhnya
merupakan sanggahan bagi mereka yang meyakini “Wahdatul Wujud” menyatunya hamba dengan Tuhan, bagi mereka yang mengetahui
maksud-maksud filsafah Yunani, India dan Majusi.
Imam Al-‘Aydarus juga menyatakan : “Aqidah
kita adalah aqidah Asy’ariyah, Hasyimiyah, Syar’iyah, sesuai dengan
Madzhab Syafi’i yang menganut Sunnah dan Tasawuf”.
Beliau sering mengulang-ulang pernyataan
semacam ini sehingga cukup meyakinkan.
Apa yang kami sebutkan di atas
merupakan ringkasannya.
Habib
‘Abdullah Al-Haddad juga telah menyusun
aqidah yang ringkas lagi lengkap dimana penulis (Sayyid ‘Alwi b.
Thahir Al-Haddad) telah menulis pengantarnya, antara lain sebagai berikut :
“Dan kami telah mengawalinya dengan aqidah yang para salaf
(pendahulu pendahulu
kita) mengajarkannya kepada keluarga, sanak saudara serta para tetangga, baik yang jauh maupun yang dekat, serta orang-orang awam di negeri mana
mereka tinggal. Aqidah itu besar
pengaruhnya, agung manfa’atnya, bahkan merupakan pusaka iman yang mengandung
arti penyerahan dan ketundukan mutlak (Kepada Tuhan) serta penerimaan penuh atas apa yang telah
disampaikan oleh Nabi utusan Allah yang mulia
S.A.W. berupa ajaran Islam yang
suci”. Pada kitab itu Imam Al-Haddad menyatakan : “Penutup kitab
ini adalah sebuah aqidah yang ringkas dan sangat bermanfa’at, Insya Allah, sesuai jalan yang ditempuh oleh Al-Firqah An-Najiah (golongan
yang selamat di Akhirat), yaitu
golongan Ahlussunah Wal Jama’ah, golongan yang merupakan Assawad Al-A ‘dham
(mayoritas umat ini).”
Di dalam kitab “Al-Masyra “Arrawiy” dinyatakan : Dahulu matahari ilmu dan kewalian Al-Habib Al-Imam ‘Abdullah
Al-‘Aydarus apabila hendak mengikat janji murid yang hendak mengikuti
thariqatnya, beliau menyuruh murid itu supaya terlebih dahulu bertaubat dan beristighfar (mohon ampun) kemudian murid itu disuruh mengatakan :
Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan
selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya. Aku beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul utusan Allah, hari
akhirat dan taqdir yang baik dan yang buruk dari Allah. Aku beriman dengan adzab kubur dan kenikmatan di dalamnya, pertanyaan kedua malaikat (Munkar dan Nakir), hari kebangkitan, timbangan, shirat, surga dan neraka. Aku
telah ridha (mengakui) Allah sebagai Tuhan, Islam
sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah. Aku telah ridha (senang dan puas) engkau sebagai guru
dan perantara penunjuk jalan kepada Allah SWT.
Kemudian beliau
berkata : “Dalam soal furu’ (cabang agama yang berhubung dengan fiqh) kita
menganut Madzhab Imam Syafi’i dan dalam bidang ushul (ilmu yang berhubungan
dengan Tauhid dan ketahanan/aqidah) kita menganut Madzhab Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, sedang thariqat kita
adalah tharigat ahli-ahli Tasawuf. Demikian pula dinyatakan oleh Al-Quthb
Al-‘Aydarus dalam kitabnya Al-Juz
Al-Latif.
Dalam sepucuk surat yang ditulis oleh Habib ‘Abdullah b. ‘Alwi Al-Haddad kepada saudaranya Al-Habib Hamid yang tinggal di India, beliau menulis : “Sesungguhnya telah sampai
berita kepada kami betapa hebat fitnah yang menyesatkan yang telah terjadi di sana (India), malapetaka dan bencana yang menimpa negeri itu secara terus menerus, serta perselisihan dan perpecahan yang
terjadi di antara penduduknya di mana tidak pernah ada kerukunan.
Adapun yang lebih buruk dan lebih keji dari semua itu adalah apa yang telah
sampai kepada kami yaitu yang timbulnya kebencian terhadap kedua sesepuh Islam
(Asy-Syaikhain) Abu Bakar Ash-Shiddiq dan ‘Umar Al-Faruq Radhia Allahu A’nhuma sebagai
dianut oleh golongan “Rafidhah ” yang tercela, baik ditinjau dari segi syari’ah, maupun menurut akal sehat.
‘Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un.
Hal ini merupakan musibah yang besar dan malapetaka yang sulit
dihilangkan.”
Dalam
sepucuk surat lain kepada salah seorang muridnya, Habib ‘Abdullah b. ‘Alwi
Al-Haddad menulis : “Menyebutkan Madzhab
atau faham lain tidaklah berarti keharusan
mengikuti Madzhah atau faham itu. Adalah merupakan kebiasaan para pengarang dan
para ulama untuk menyebutkan dan menukil Madzhab-madzhab lain dan
mengutip ucapan-ucapan mereka, baik yang sejalan maupun yang bertentangan dengan mereka, adapun yang terlarang dan tidak dapat dibenarkan
adalah (berkeyakinan) membatasi hak menjabat
kedudukan Imaman hanya pada mereka saja, seperti dinyatakan oleh golongan yang bertentangan dengan kita.
Semoga Allah memberi taufiq pada kita semua dan menjadikan kita di antara
orang-orang yang diberi petunjuk
kepada kebenaran dalam soal-soal yang diperselisihkan orang. ”
Habib ‘Alwi b. Ahmad b. Hasan b. ‘Abdullah Al-Haddad menulis sebuah komentar bait syair datuknya Habib ‘Abdullah Al-Haddad, berikut :
“Madzhab yang
lurus aku
ikuti sesuai Kitab Allah dan Sunnah Nabi”. Habib Ahmad tersebut menulis “Madzhab lurus yang dimaksud adalah Madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah, aku mengikuti Madzhab itu seperti
bapak-bapakku dan kakek-kakekku dan Nabi Muhammad, ‘Ali, Hasan dan
Husein sampai pada seluruh salaf Al-‘Alawiyyin.
“
Guru besar kami Habib Muhsin b. ‘Alwi Assegaf dalam kitabnya : “Ta’rif Al-Khalaf Bi Sirat
Al-Salaf’ telah menulis pernyataan yang hampir sama dengan yang apa yang kami kemukakan tadi. Kemudian
beliau mengutip dari kitab : “Ghurar Al
Baha’ Al Dhawi” karya ulama ahli
Hadits terkenal Allamah Sayyid Muhammad b.
‘Ali Kharid Al-’Alawi Al-Husaini
sebagai berikut : Sayyid ‘Ubaidillah b.
Ahmad Al-Muhajir b. ‘Isa beserta anak cucunya mereka adalah para Syarif
keturunan Imam Al-Husain yang hidup
di negeri Yaman (Hadramaut). Jarang ada orang seperti mereka, Tharigah para
Syarif ini adalah Madzhab Ahlussunah Wal
Jama’ah, akhlak mereka mengikuti akhlak Nabi. Orang yang insaf dan sadar
akan mengakui bahwa mereka benar-benar para Sayid dan tokoh-tokoh mulia, budi
luhur, Habib Muhsin tersebut kemudian
mengutip dari Habib ‘Abdullah Al-Haddad, katanya
: Ada dua orang yang sangat besar jasanya terhadap keluarga
Al-Ba’alawi, yaitu :
PERTAMA, Sayyidina Ahmad Al-Muhajir b.
‘Isa yang telah membawa mereka keluar
meninggalkan fitnah dan bid’ah (di negeri Irak) dan membawa mereka hijrah
ke negeri Yaman (Hadramaut).
KEDUA adalah Al-Fagih
Al-Muqaddam yang telah membebaskan mereka
menyandang senjata sehingga mereka dapat
berkonsentrasi untuk ilmu dan da’wah. Para salaf dahulu melarang orang mendalami
tauhid. mereka menerima ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits Nabi SAW. yang berhubungan dengan sifat-sifat
Allah SWT. serta ayat-ayat mutasyabihat lainnya
dengan penyerahan bulat-bulat, tanpa rnempersoalkannya secara njelimet
disertai pensucian bagi Allah dengan sesuci-sucinya dari segala sifat kekurangan
dan cela seraya mengagungkan-Nya dengan seagung-agungnya.
Habib Abdullah Al-Haddad berkata :”Kita berpegang dengan ajaran-ajaran Imam Al-Asy’ari karena beliau berpendirian : Beriman
kepada Allah, kepada ayat-ayat Allah, kepada para Rasul utusan Allah sesuai
apa yang dimaksud dan dikehendaki oleh Rasul Allah”. Demikian kurang lebih ucapan
beliau yang masih dapat kami ingat.
Dalam kitab Al-lbanah karya Imam Al-Asy’ari yaitu sebuah kitab
yang membahas soal-soal aqidah lengkap
berdasarkan aqidah yang menjadi
pegangan salaf, baik para
Sahabat maupun para Tabi’in, Imam Asy’ari menulis : “Ringkasan pendirian kami
adalah : Kita mengakui Allah, mengakui para Malaikat, Kitab-kitab (suci), Rasul-rasul serta ajaran yang mereka sampaikan
dari Allah, serta riwayat-riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang terpercaya
dari Rasul utusan Allah, semua itu tidak ada sedikitpun yang kami tolak. Kita juga
tidak mengada-ada dalam agama Allah sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah
(yakni sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam
agama), atau mengatakan sesuatu
terhadap Allah yang tidak kami ketahui
hakikatnya“. Kata beliau pula “Al-Qur’an kita terima sesuai dengan arti
yang tersurat, kita tidak dapat mengartikan lain
kecuali dengan hujjah (dalil) yang jelas”.
Anda
juga hendaknya berkeyakinan bahwa apa yang dinyatakan
oleh para Salaf (pendahulu-pendahulu) kita bahwa sejak datuk-datuk
mereka hingga kini mereka adalah penganut
Madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah adalah nyata dan benar, tidak dapat dita’wilkan
atau ditakhsiskan dan tidak dapat pula disanggah oleh mereka yang hendak menyanggah, atau kritik dan pendustaan
orang-orang yang kebelinger, dan bahwa apa yang dinyatakan mereka itu benar-benar diterima oleh mereka secara
turun-menurun dari kakek kepada cucu
dan ayah kepada anak serta dari mereka yang terdahulu kepada mereka yang
datang kemudian, dikuatkan pula dengan kutipan-kutipan yang jelas melalui
silsilah riwayat (sanad) sesuai kaidah-kaidah ilmu Hadits. (Ulama Ahlul Bait menerima ilmunya dari para Sahabat dan Tabi’in,
para Sahabat dan Tabi’in juga menerima ilmunya dari Ahlul Bait.
Al-Hafidh
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitabnya “Hilyalul Aulia” yaitu Hiasan para wali, beliau berkata “Telah datang kepadaku, segolongan
penduduk negeri Iraq. Mereka mencela
Sahabat-sahabat Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman.
Setelah selesai
memaki-maki, Imam ‘Ali Zayn
Al-‘Abidin balik bertanya kepada mereka : “Maukah
kalian menerangkan kepadaku, apakah kalian termasuk orang-orang yang
melakukan hijrah pada tahap awal
(Al-Muhajirun Al-Awalun) karena diusir dari kampung halaman mereka serta
menuntut anugrah dari ridha Allah dan Rasul-Nya,
sedang mereka itulah orang-orang yang
benar ! “
Mereka menjawab
” Bukan “.
Imam ‘Ali Zayn Al-‘Abidin kembali bertanya : “Adakah kalian
penduduk negeri Madinah yang telah beriman (Kaum
Anshar) sebelum datang kaum Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang hijrah
kepada mereka dan tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin, serta
mengutamakan kaum Muhajirin itu daripada diri mereka sendiri meskipun
mereka dalam kesusahan? Dan barang siapa dipelihara
dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung? Apakah
itu kalian?”
Mereka
kemudian menjawab :
“Bukan“.
Imam ‘Ali Zayn Al-‘Abidin kemudian
berkata : “Kini kalian telah mengakui
tidak termasuk kedua golongan yang disebutkan
Allah dalam kedua ayat itu. Aku juga
bersaksi kalian tidaklah termasuk golongan
yang disebutkan dalam ayat ini. Dan mereka yang datang kemudian sesudah mereka
itu berdo’a : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah dahulu beriman dan janganlah engkau biarkan kedengkian (bersemayam) di dalam hati kami terhadap
orang-orang yang telah beriman, Ya
Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun Maha Penyayang “.
Enyahlah, kata Imam ‘Ali Zayn Al-‘Abidin,
Semoga Allah menindak kalian. ”
Diriwayatkan
pula dengan sanadnya kepada Yahya bin
Sa’id, katanya : Saya mendengar ‘Ali bin Husain menjawab pertanyaan orang-orang yang datang
mengerumuninya (katanya) :
“Cintailah kami sesuai dengan ajaran Islam, semata-mata untuk Allah. Sesungguhnya makin lama cinta kalian (yang melampaui batas ini) malah menjadi a’ib yang memalukan bagi kami “.
Demikian itulah sebagian pernyataan yang
diriwayatkan dari Sayyidina ‘Ali Zayn Al-‘Abidin Ibn. Al-Husain.
Abu Na’im juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu
Ja’far
Muhammad Al-Bagir, katanya :
Saya bertanya kepada Abu Ja’far (Al-Bagir) tentang hukum menghias pedang.
Beliau menjawab : “Tidak
mengapa (boleh). Abu Bakar Ash-Shiddiq dahulu menghias pedangnya.”
Saya berkata : “Engkau
juga mengatakan Ash-Shiddiq?
Beliau (Abu Ja’far) lalu menghadap ke kiblat
dan berkata
: Benar Ash-Shiddiq, dan barang
siapa tidak mengatakan Ash-Shiddiq, Allah tidak akan membenarkan ucapannya baik di dunia maupun di akhirat “.
Diriwayatkan pula dengan sanadnya dari Jabir,
katanya : Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zayn Al-‘Abidin berkata kepadaku :
“Hai Jabir, aku mendengar ada segolongan
orang Iraq beranggapan bahwa mereka cinta kepada kami (Ahlul Bait) dan
mencela Abu Bakar dan ‘Umar, Raddhi Allahu Anhuma. Mereka juga
beranggapan akulah yang menyuruh
mereka berbuat demikian. Maka sampaikanlah kepada mereka bahwa aku berlepas
diri (bari’) terhadap apa yang mereka
lakukan. Demi Allah dan jiwa Muhammad (Al-Bagir) ada di tangannya kalau
sekiranva aku berkuasa niscaya aku
akan mendekatkan diri kepada Allah
dengan menumpahkan darah mereka. Dan semoga
aku tidak mendapat syafa’at Muhammad SAW.
jika aku tidak memohonkan ampunan dan rahmat
bagi mereka, akan tetapi musuh-musuh
Allah senantiasa lalai terhadap
keduanya “.
Diriwayatkan
pula dengan sanadnya dari Syu’bah Al-Khayyath, katanya : “Abu Ja’far Muhammad b. ‘Ali Zayn Al-‘Abidin berkata kepada saya ketika kami
sedang berpamit kepada penduduk negeri
Kuffah (salah satu kota di Iraq) : “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap mereka yang tidak mengakui kebenaran Abu Bakar Ash-Shiddiq dan
‘Umar Radhi Allahu Anhuma “.
Diriwayatkan
pula dengan sanadnya dari Abu Ishaq
dari Abu Ja’far Muhammad b. ‘Ali Zayn
Al-‘Abidin , katanya : “Orang yang
tidak mengakui jasa Abu Bakar dan ‘Umar
sesungguhnya orang ini tidak mengakui
sunnah “.
Ibnu Fudhail meriwayatkan dari Salim b. Abi
Hafshah, katanya : “Saya bertanya kepada
Abu Ja’far Muhammad Al-Bagir dan putranya (Ja’far Ash-Shadiq)
tentang Abu Bakar
dan ‘Umar. Mereka menjawab :
“Akuilah dan cintailah keduanya serta berlepas dirilah dari musuh-musuh mereka, sesungguhnya keduanya adalah
Imam-imam yang mengikuti kebenaran
“. Al Hafidh Ad-Dzahabi menyatakan bahwa sanad riwayat ini shahih. Ibnu
Fudhail dan Salim adalah tokoh-tokoh Syi’ah yang benar.
Hafsu Ibnu Ghiats berkata : “Saya mendengar Ja’far Asshadiq b. Muhammad Al-Bagir berkata: “Tiadalah
aku mengharap syafa’at dari ‘Ali melainkan aku mengharap syafa’at serupa pula
dari Abu Bakar”. Salim b. Abi Hafshah
berkata : Saya mendatangi Ja’far b. Muhammad,
menjenguk beliau ketika sedang sakit,
Ja’far berkata : “Ya Allah sesungguhnya
aku mencintai Abu Bakar dan ‘Umar
serta mengakui rnereka sebagai pemimpin.
Ya Allah, jika sekiranya di dalam hatiku ada perasaan selain demikian, maka semoga aku tidak mendapat syafa’at Nabi
Muhammad SAW”. Salim ini
adalah seorang yang dapat dipercaya
(thigah), hanya saja dia seorang Syi’ah yang ekstrim
membenci kedua sesepuh (Assyaikhain) Abu Bukar dan ‘Umar,’“. (Penulis buku ini Habib ‘Alwi b. Thahir Al-Haddad memberi
komentar sebagai berikut : Keterangan
terakhir yang menyatakan bahwa
pembawa riwayat ini adalah seorang Syi’ah yang
ekstrim malah dapat menjadi bukti yang
kuat atas kebenaran riwayat ini, karena dia meriwayatkan sesuatu yang dapat menjadi
alasan yang kuat bagi mereka yang bertentangan dengan dia, lagi pula dia
meriwayatkannya dari Imam Ja’far
Asshadiq yang diakui sebagai salah seorang imamnya. Demikian Habib ‘Alwi b. Thahir Al-Haddad. 1
Abbas Al-Hamdzani meriwayatkan katanya : “Ketika kami akan
pergi meninggalkan kota Madinah, Imam Ja’far Ash-Shadiq b. Muhammad
Al-Bagir datang kepada kami dan berkata “Kalian Insya Allah tergolong orang-orang terbaik di negeri kalian,
maka hendaklah kalian sampaikan kepada penduduk negerimu dari aku
(Ja’far Ash-Shadiq) hal-hal sebagai berikut : Barang siapa beranggapan aku ini sebagai imam yang wajib ditaati,
maka aku berlepas diri dari orang itu dan
barang siapa beranggapan aku berlepas
diri dari Abu Bakar dan ‘Umar dan tidak mengakui rnereka sehagai
khalifah yang sah, maka aku berlepas
diri dari padanya”.
Dalam kitab Masyra’ Arrawiy) diriwayatkan : “Ada orang bertanya kepada Ja’far Ash-Shadiq (katanya) ada segolongan orang beranggapan orang yang mengucapkan
talak (cerai) tiga sekaligus tanpa pengetahuan, maka talak itu dikembalikan
kepada sunnah menjadi satu talak dan mereka rneriwayatkan dari anda “. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab: “Semoga Allah melindungi kami (dari hal itu), Kami tidak pernah berkata demikian. Barang siapa rnengucapkan talak
tiga (sekaligus), maka berlakulah apa
yang diucapkannya”.
Muhammad b. Manshur berkata : “Saya bertanya kepada Ahmad bin ‘Isa bin Zaid, tentang seseorang yang mengucapkan talak tiga terhadap
istrinya. Ahmad bin ‘Isa menjawab : “Berlakulah
talak itu dan bercerailah dia dari
istrinya. Kita tidak berpendirian seperti golongan Rafidhah “.
0 komentar:
Posting Komentar