Go to Design --> Edit Html and find these sentences. Now replace these sentences with your own welcome message. This templates is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com. Download this template and more premium blogger templates from Premiumbloggertemplates.com.

Recent Posts

  • SLIDE-1-TITLE-HERE

    Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com [...]

  • SLIDE-2-TITLE-HERE

    Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com [...]

  • SLIDE-3-TITLE-HERE

    Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com [...]

  • #

    #

Senin, 02 Desember 2013

Manaqib

Posted by Mustafa shodiq On 08.17 No comments

Pengertian Manaqib

Menurut kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan kata jama’ yang berasal dari kata  Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal, jalan menuju gunung atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahuan tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah. Dari pengertian ini manaqib dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan-kebaikan para kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan para wali sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. (Yuhibbuunallah wayubibbuhum).

Sebagaimana ditulis dalam al-Qur'an :
"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Maidah (5): 54)
Ensiklopedi Islam mengartikan manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman spiritual seorang wali Allah Swt. yang di dalamnya terdapat cerita-cerita, ikhtisar hikayat, nasihat-nasihat serta peristiwa-peristiwa ajaib yang pernah dialami seorang syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumnya dan dirangkum dari cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya, keluarga dan sahabat-sahabatnya (Ensiklopedi Islam: 152).
Jadi, manakib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat hagiografis (menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan teladan bagi pembacanya disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan Allah).

Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah sesuai dengan firman Allah swt dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir al Qurthuby mengartikan “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah swt) yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan demikian maka mengikuti jalan orang-orang sholeh apalagi para ulama dan aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Dalam al-Quran sendiri banyak  ayat-ayat yang menjelaskan tentang  kisah-kisah orang-orang tertentu. Ada kisah para Nabi, kisah para rasul, umat terdahulu, para wali dan lain-lain yang semuanya itu merupakan manaqib dan perlu diambil pelajaran darinya.
Dalam al-Qur’an Surat Hud ayat 120 digambarkan bagaimana suatu manaqib membawa pelajaran penting bagi umat manusia : “ Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceriterakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hati kamu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”.
Pada ayat ini disebutkan ada tiga gambaran bagaimana sebuah manaqib berfaidah bagi umat yang datang kemudian, yaitu:
1.    Dapat meneguhkan hati orang-orang beriman
2.    Mendatangkan kebenaran dalam segala hal, baik ucapan, pikiran maupun prilaku.
3.    Menjadi bahan pelajaran  dan peringatan bagi kaum yang beriman.

Sejalan dengan tujuan di atas, dalam banyak ayat dijelaskan pentingnya melakukan penelitian terhadap sejarah, baik dari al-Qur’an, as-Sunnah maupun sumber-sumber yang lainnya. Ayat dimaksud antara lain adalah sebagai berikut: “ Dan Sesungguhnya Telah kami utus beberapa orang Rosul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Alloh; Maka apabila Telah datang perintah Alloh, diputuskan (semua perkara) dengan adil. dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil. Allohlah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan” (al-Mu’min: 78-79).
Dikuatkan pula dengan ayat 164-165 surat an-Nisa  sebagai berikut: “ Dan (Kami Telah mengutus) rosul-rosul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rosul-rosul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Alloh Telah berbicara kepada Musa dengan langsung. Mereka kami utus selaku rosul-rosul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Alloh sesudah diutusnya rosul-rosul itu. dan adalah Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Mencintai orang-orang beriman yang sentiasa taat kepada Allah, sangat besar pahalanya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:  
Sesungguhnya kelak pada Hari Kiamat Allah akan berfirman, “Di mana orang- orang yang saling mencintai kerana keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naunganKu di saat tidak ada naungan kecuali naunganKu” 

Diriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
"Demi Allah, kalian tidak akan masuk syurga sehingga kalian beriman. Tidak sempurna keimanan kalian sehingga kalian saling mencintai. Adakah kalian mahu aku tunjukkan sesuatu, yang mana jika kalian melakukannya nescaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian! (HR. Muslim). 
Dalil yang dimaksudkan di dalam hadis ini adalah sabda Rasulullah SAW, “Tidak sempurna keimanan kalian sehingga kalian saling mencintai”. Hadis ini menunjukkan tentang besarnya pahala saling mencintai kerana Allah. 

قال رسول الله صلىالله عليه وسلم مَنْ وَرَّخَ مُسْلِمًا فَكَأَ نَّمَا اَحْيَاهُ وَمَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَ نَّمَا زَارَنِى وَمَنْ زَارَنِى بَعْدَ وَفَاتِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى. روه ابو داود وترمذى

“Barang siapa membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkannya. Dan barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya mendapat syafatku di Hari Qiyamat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadis dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: 
"Sesiapa pun tidak akan merasakan manisnya iman, sehingga ia mencintai seseorang hanya kerana Allah semata . (HR. Bukhari). 
Hadis dari Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban, ia berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada seseorang yang mencintai suatu kaum tapi tidak mampu beramal seperti mereka? Rasulullah SAW bersabda, “Engkau wahai Abu Dzar, akan bersama siapa sahaja yang engkau cintai.” Abu Dzar berkata; maka aku berkata, “Sungguh, aku mencintai Allah dan RasulNya.” Abu Dzar mengulanginya sebanyak satu atau dua kali. 
Hadis Muadz bin Anas Al-Jahni bahawa Rasulullah SAW bersabda:  
"Barangsiapa yang memberi kerana Allah, menolak kerana Allah, mencintai kerana Allah, membenci kerana Allah, dan menikah kerana Allah, maka bererti ia telah sempurna imannya." (HR. Al- Hakim). 

Manifestasi Cinta kerana Allah 
1.Disunahkan orang yang mencintai saudaranya kerana Allah untukmemberitahukan cintanya kepada orang yang dicintainya . Abu Dawud dan At-Tirmidzi meriwayatkan bahawa Nabi SAW bersabda:  Jika seseorang mencintai saudaranya kerana Allah, maka kabarkanlah bahwa ia mencintainya. 
2.Disunahkan mendoakan saudara yang dicintainya ketika tidak bersamanya . Diriwayatkan bahawa Nabi SAW bersabda:  "Barang siapa yang mendoakan saudaranya pada saat ia tidak bersamanya, maka malaikat yang diamanahkan untuk menjaga dan mengawasinya berkata, “Semoga Allah mengabulkan; dan bagimu semoga mendapat yang semisalnya.” (HR. Muslim). 
3.Disunahkan meminta doa dari saudaranya . Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan bahawa Umar bin Khatab berkata: Aku meminta izin kepada Nabi SAW untuk umrah, kemudian beliau memberikan izin kepadaku dan bersabda: “Wahai saudaraku, engkau jangan melupakan kami dalam doamu.” 
4.Disunahkan mengunjungi orang yang dicintai, duduk bersamanya, saling menjalin persaudaraan, dan saling memberi kerana Allah, setelah mencintai-Nya . Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:  Sesungguhnya ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di kota lain. Kemudian Allah memerintahkan Malaikat untuk mengikutinya. Ketika malaikat sampai kepadanya, ia berkata, “Engkau hendak ke mana?” Orang itu berkata, “Aku akan mengunjungi saudaraku di kota ini.” Malaikat berkata, “Apakah ada hartamu yang dikelola olehnya?” Ia berkata, “Tidak ada, hanya saja aku mencintainya kerana Allah.” Malaikat itu berkata, “Sesunggunya aku adalah utusan Allah kepadamu. Aku diperintahkan untuk mengatakan bahwa Allah sungguh telah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai saudaramu itu karena Allah.” 
5. Senantiasa berusaha membantu memenuhi keperluan saudaranya dan bersungguh-sungguh menghilangkan kesusahannya . Hal ini berdasarkan hadis Mutafaq 'alaih dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda:  "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, ia tidak akan menzaliminya dan tidak akan membiarkannya binasa. Barangsiapa berusaha memenuhi keperluan saudaranya maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya kelak di Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya di Hari Kiamat." 
6. Disunahkan menemui orang yang dicintai dengan menampakkan (menzahirkan) perkara yang disukainya untuk menggembirakannya . Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab As-Shagir, Rasulullah SAW bersabda:  "Barangsiapa yang menemui saudaranya yang muslim dengan menampakkan perkara yang disukainya kerana ingin membahagiakannya, maka Allah akan memberikan kebahagiaan kepadanya di Hari Kiamat." 
7. Disunahkan seorang muslim menemui saudaranya dengan wajah yang berseri-seri . Diriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun, walau sekadar bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri" (HR. Muslim). 
8. Disunahkan seorang muslim memberikan hadiah kepada saudaranya , berdasarkan hadist bahwa Rasulullah saw bersabda: "Kalian harus saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai." (HR. Bukhari). 
9. Disunahkan menerima hadiah yang diberi saudaranya dan membalasnya . Dasarnya adalah hadis daripada Aisyah riwayat Bukhari, ia berkata:  “Rasulullah SAW pernah menerima hadiah dan membalasnya. “ Termasuk memberikan balasan hadiah yang setimpal adalah jika seorang muslim mengatakan kepada saudaranya, “Jazakallah Khairan”, artinya semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Tirmidzi meriwayatkan dari Usamah bin Zaid, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa diberi kebaikan kemudian ia berkata kepada orang yang memberi kebaikan, “Jazakallah Khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), makasungguh dia telah memberikan pujian yang sangat baik. 
10.Harus berterima kasih kepada orang yang telah memberikan kebaikan kepadanya. Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan dapat mensyukuri nikmat yang banyak. Barangsiapa yang tidak dapat bersyukur kepada orang, maka ia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah. Membicarakan nikmat Allah adalah sama dengan bersyukur. Dan tidak membicarakan kenikmatan bererti mengingkari nikmat. Berjemaah adalah rahmat, bercerai berai adalah azab." 
11.Disunahkan membela saudaranya untuk mendapatkan kemanfaatan dari suatu kebaikan atau untuk memberikan kemudahan dari suatu kesulitan . Diriwayatkan bahawa Rasulullah SAW jika didatangi peminta- minta (pengemis), maka baginda suka berkata: "Belalah dia, maka kalian akan diberikan pahala. Dan Allah akan memutuskan dengan lisan nabiNya tentang perkara yang ia kehendaki." (HR. Bukhari). 
12.Wajib memberi kemaafan terhadap saudaranya . Diriwayatkan Ibnu Majah bahawa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang mengajukan permintaan maaf kepada saudaranya dengan suatu alasan tapi ia tidak menerimanya, maka ia akan mendapat kesalahan seperti kesalahan pemungut pajak." 
13.Wajib menjaga rahasia seorang muslim . Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang berkata kepada orang lain dengan suatu perkataan kemudian ia menoleh (melihat sekelilingnya), maka pembicaraan itu adalah amanah”. 
14.Wajib memberi nasihat . Imam Muslim telah mentakhrij dari Abu Hurairah ra., ia berkata; sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Hak muslim ke atas muslim yang lain ada enam . Dikatakan, “Apa yang enam itu, Ya Rasulallah?” Rasul SAW bersabda, “ Apabila engkau bertemu dengan saudara muslim yang lain, maka ucapkanlah salam kepadanya; Apabila ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya; Apabila ia meminta nasihat kepadamu, maka berikanlah nasihat kepadanya; Apabila ia bersin dan mengucapkan alhamdulillah, maka ucapkanlah yarhamukallah; Apabila ia sakit maka ziarahlah; Apabila ia meninggal dunia, maka hantarkanlah sampai ke kuburnya. ” 
Khatimah Semoga dengan melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW dalam mencintai seorang hamba karenaNya, kita dicintai Allah SWT sebagaimana hadis dari Umar bin Al-Khathab, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik dengan kedudukan mereka di sisi Allah. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami dapat mencintai mereka.” Rasulullah SAW bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai nikmat dan kurnia yang diberikan oleh Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama. Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak berasa takut ketika banyak manusia berasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah SAW membacakan firman Allah:  Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Jadi dengan membaca manaqib, Insya Allah merupakan salah satu jalan tempuh untuk memperoleh rahmat dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifat hamba-hamba Allah yang saleh bahkan para wali Allah yang tujuan akhirnya adalah untuk diteladani. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh keberkahan dalam kehidupan jasmani dan rohani dunia wal akhirat.

Manfaat Manaqib
Para sufi dan para ahli tarekat percaya dan yakin bahwa manaqib mempunyai manfaat dan tujuan mulia, antara lain:
1) Mencintai dan menghormati zurriyyah (keturunan) Rosululloh saw. Alloh berfirman:
قل لا اسالكم عليه اجرا الا المودة في القربي
       Artinya: Sesunguhnya Aku tidak meminta kepadamu sesuatu apapun atas seruan-Ku, kecuali kamu berkasih sayang terhadap keluarga (QS. As-Syura: 23).
Seseorang yang mencintai  atau menghormati kepada sesama keluarga dipuji Alloh, apalagi mencintai dan menghormati keluarga Rasululloh SAW. Karena para ulama adalah pewaris Nabi, ada sebagian Ulama yang berpendapat dan hadist yang menerangkan bahwa setiap hamba Allah yang mukmin yang bertakwa (para shalihin dan Shiddiqin) termasuk keluarga Rasulullah SAW.

2)  Mencintai para ulama,  solihin  dan para  wali. Nabi bersabda:
      (من عادي لي وليا فقد اذنته بالحرب (رواه البخاري
Artinya: “Barangsiapa saja yang memusuhi wali-Ku maka aku umumkan perang kepadanya” (HR Bukhari)
Hadis di atas  menjelaskan bahwa Alloh mengancam dengan tegas akan memerangi kepada siapa saja yang memusuhi wali-Nya. Sebaliknya tentu saja Alloh mencintai kepada siapa siapa saja yang mencintai wali-Nya.

3)   Mencari barokah dan syafa’at dari shalihin.
“Rosululloh telah melihat  bahwa Ummu Sulaim  sedang mengumpulkan  keringat Nabi dalam suatu tempat, sewaktu Nabi sedang tidur, tiba-tiba Nabi terbangun  seraya berkata: “Apa yang engkau kerjakan  hai Ummu Sulaim?” Ia menjawab: Keringatmu  ini akan aku jadikan wangi-wangian yang paling harum”. Dalam riwayat yang lain dikatakan  bahwa Umu Sulaim  menjawab: “ya Rosululloh: Aku berharap barkahnya keringatmu ini untuk anak-anakku”. Berkatalah Nabi kepada Ummu Sulaim  dengan pernyataan yang penuh kesungguhan  sambil memuji” Silahkan” (Bukhari Muslim dan Nasa’i)

4)   Bertawassul karena Alloh semata. Alloh berfirman:
يا ايهاالذين امنوا اتقوالله وابتغوا اليه الوسيلة وجاهدوا في سبيله لعلكم تفلحون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Alloh dan carilah jalan yang mendekatkan  kepada-Nya dan berjuanglah kamu di jalan Alloh supaya kamu menjadi orang yang beruntung” (al-Maidah: 35).

5)   Melaksanakan nazar karena Alloh semata, bukan karena maksiat. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw.
(من نذر ان يطيع الله فليطعه ومن تذر ان يعصيه فلا يعصيه ( رواه البخاري 
  “Barang siapa bernazar untuk taat kepada Alloh taatlah, dan barang siapa yang bernazar untuk ma’siat kepada Allah maka janganlah ia berma’siat” (HR Bukhari)
6) Menjadi sebab turunnya rahmat Allah SWT

عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِينَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ
"Dengan menyebut orang-orang shalih, rahmat akan diperoleh"
Hadist ini, sebagaima dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tidak memiliki asal (la ashla lahu). Kesimpulan Ibnu Hajar ini disampaikan oleh al-Sakhawi dalam Maqasid al-Hasanah hal. 298, dan Isma’il al-‘Ajluni dalam Kasyf al-Khafa’ juz 2/70. Hal senada juga disampaikan oleh pengarang kitab al-Jidd al-Hatsits fi Bayani ma laisa bi Hadits hal 149. Lebih lanjut, al ‘Ajluni mengutip pernyataan al-‘Iraqi dalam al-Mughni-nya, bahwa makalah ini sebetulnya adalah perkataan Sufyan bin ‘Uyainah.
Akan tetapi Ibnu al-Shalah melontarkan pandangan berbeda. Dalam ‘Ulum al-Hadits beliau mengatakan bahwa hadits ini masih dimungkinkan memiliki asal (sanad) yang menjadi sandarannya. Dalam kitab tersebut beliau menyampaikan sebuah riwayat dari Ibnu Umar Isma’il bin Najid. Beliau bertanya terhadap Abu Ja’far Ahmad bin Hamdan (dimana keduanya termasuk orang yang shalih) “apakah yang menjadi pendorong (niat) Anda untuk menulis hadist? beliau berkata:
اَلَسْتُمْ تَرَوْنَ/تَرْوُوْنَ أنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِينَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ ؟
“Apakah kamu tidak meyakini (meriwayatkan?) bahwa ketika orang-orang shalih disebut maka rahmat akan turun?” Kemudian Isma’il berkata, “Ya”. Lalu Abu Ja’far berkata: “Kalau begitu Rasulullah adalah pangkal dari semua orang-orang shalih.
Dari riwayat ini Ibnu Shalah mencantumkan dua kemungkinan, yaitu apabila lafadz ”تروون” menggunakan wawu dua yang berarti sebagai fiil mudhari’ (kata kerja) dari masdar (kata dasar) ‘riwayah’, maka secara global hadits diatas ada dasarnya. Namun apabila menggunakan wawu satu ”ترون” yang berarti “meyakinkan atau menyangka”, maka riwayat ini tidak menunjukkan bahwa hadits di atas memiliki dasar.
Dari maqalah (atau hadits, menurut sebagian ulama) ini, sepantasnya bagi setiap kaum muslimin untuk selalu membaca manaqib/biografi para alim ulama, para shalihin dan auliya agar timbul rasa cinta dan ingin meniru tindak lakunya, dari itu akan turun rahmat kepanya, sebagaimana di jelaskan dalam kitab Jala’ al- Afham fi Aqdah al-Awam.
Dalam sebuah hadits riwayat ad-Dailami didalam Musnad al-Firdaus daripada Sayyidina Muadz :
ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة وذكر الموت صدقة وذكر القبر يقربكم من الجنة
Maksudnya: Mengingati para Nabi adalah ibadah, mengingati orang-orang sholeh adalah kaffarah (bagi dosa), mengingati mati adalah sedekah dan mengingati qubur mendekatkan kalian semua kepada syurga. 
Imam as-Sayuthi rahimahUllah menukilkan dalam "Jami`ush Shoghir" pada hadits ke-4331 bahawa Junjungan Nabi SAW bersabda:-
"Mengingati / menyebut para nabi termasuk dalam perbuatan ibadah, mengingati orang-orang sholeh adalah kaffaarah (pelebur dosa kesalahan), mengingati mati itu adalah sedekah dan mengingati kubur itu mendekatkan kamu dengan syurga."
Hadits ini diriwayatkan Imam ad-Dailami dalam "Musnad al-Firdaus" daripada Sayyidina Mu`adz RA 

Muhammad bin Yunus رحمه الله تعالى berkata: Tiada melihat aku akan sesuatu yang terlebih manfaat bagi hati daripada mengingati riwayat hidup orang-orang sholeh.

قال سفيان بن عيينة رحمه الله تعالى: عند ذكر الصالحين تنزل الرحمة
Sufyan bin Uyainah رحمه الله تعالى mengatakan bahawa ketika menyebut orang-orang sholeh akan bercucuran rahmat.

Imam Junaid al-Baghdadi رحمه الله تعالى pula berkata: 
Hikayat (kisah orang-orang sholeh) itu adalah merupakan tentera dari tentera-tentera Allah Ta’ala dimana Allah menetapkan hati para auliyaNya dengan kisah-kisah tersebut. Maka ditanyai oleh orang kepada Imam Junaid: Apakah engkau mempunyai asas menyokong katamu itu? Maka beliau menjawab: Dalil atau penyokong bagi kenyataannya itu adalah firman Allah [bermaksud]: Dan semua kisah-kisah Rasul-rasul itu, kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad), yang dengannya Kami teguhkan hatimu. (Surah Hud:120).

Semoga dengan menyebut kisah-kisah mereka, akan menambah kecintaan kita kepada mereka. Amin Yaa Robbal 'alamin 

Didalam sebuah hadits riwayat daripada Abu Dzar رضي الله عنه, dimana beliau berkata: Wahai Rasulullah! Seorang lelaki mengasihi suatu kaum sedangkan ia tidak mampu ber’amal dengan ‘amalan mereka? Maka baginda صلى الله عليه وآله وسلم bersabda: Engkau, wahai Abu Dzar bersama sesiapa yang engkau kasihi. 
Dengan berpedoman atas hadist ini Mudah-mudahkan kita digolongkan kedalam golongan auliyaNYA lantaran karena cinta kita kepada mereka. آمين.
Didalam kitab Jala adh-Dholaam ‘ala ‘Aqidatil Awwam disebutkan: Ketahuilah, seyogia bagi setiap muslim yang menuntut kelebihan dan kebaikan (dari Allah Ta’ala) bahwa dia mencari baraakah, nafaahat, maqbulnya doa dan turunnya rahamaat pada auliya’ didalam majlis perhimpunan mereka, sama ketika mereka masih hidup atau telah wafat, ketika berada disisi kubur mereka atau ketika berziarah atau ketika menyebut keutamaan mereka dan membaca manaqib mereka.

Syeikh Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad Ismail Al-Khawwash (wafat 291H) berkata: “Obat hati ada lima perkara: Membaca Al Quran dengan tadabbur (merenungkan isi dan maknanya), mengosongkan perut (yakni dengan berpuasa atau mengurangkan makan), bangun malam beribadat, tadharru’ di waktu sahur, dan berkumpul dengan orang-orang sholeh”

Selain itu tersebut di dalam kitab Risalah al-Mustarsyidin karya al-Muhasibi yang ditahqiq dan diberi komentar oleh Syeikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddad. Di dalam kata pendahuluan Syeikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddad di dalam cetakan ketiga, beliau ada menyentuh mengenai membaca riwayat orang sholeh juga boleh mengobati hati.

Al-faqir bawakan sedikit disini. Untuk lebih lanjut bisa rujuk kitab bersangkutan, Antara yang beliau sebut adalah: Imam Junaid al-Baghdadi رضي الله عنه pula berkata: Hikayat (kisah orang-orang sholeh) itu adalah merupakan tentera dari tentera-tentera Allah Ta’ala dimana Allah menetapkan hati para auliyaNya dengan kisah-kisah tersebut. Maka ditanyai oleh orang kepada Imam Junaid: Apakah engkau mempunyai dalil yang mendukung ucapanmu  itu? Maka beliau menjawab: Dalil atau penyokong bagi kenyataannya itu adalah firman Allah:

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنۢبَآءِ ٱلرُّ‌سُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ
Dan tiap-tiap berita dari berita Rasul-rasul itu, kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad), untuk menguatkan hatimu dengannya. (Surah Hud:120).

Al-Imam Abu Hanifah رضي الله عنه berkata: Hikayat-hikayat mengenai para ulama dan kebaikan mereka, lebih aku sukai daripada banyaknya ilmu fiqh, kerana hikayat-hikayat ini memuatkan adab-adab dan akhlak mereka. 

Dan dalil yang mendukung hal tersebut adalah firman Allah:

أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۖ فَبِهُدَىٰهُمُ ٱقْتَدِهْ
Artinya:Mereka (Nabi-nabi) itulah, orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka turutlah olehmu (wahai Muhammad) akan petunjuk mereka (al-An’am: 90)


لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَ‌ةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ
Artinya: Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandungi pelajaran yang mendatangkan iktibar bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran. (Yusuf: 111)

Muhammad bin Yunus berkata: Tiada melihat aku akan seuatu yang terlebih manfaat bagi hati daripada mengingati riwayat hidup orang-orang soleh.

Sufyan bin Uyainah رضي الله عنه mengatakan bahawa ketika menyebut orang-orang sholeh akan bercucuran rahmat.

Duduk bersama orang-orang sholeh atau mendengar percakapan (nasihat) mereka atau mendengar hadits dari mereka atau membaca manaqib dan keutamaan mereka adalah daripada perkara yang membuat hati tenang dengannya, dada menjadi lapang dan membaikkan akhlaq dan ‘amalan.

Berkata al-Hafidz al-Qurasyi رحمه الله تعالى pada pembukaan kitab beliau al-Jawahir al-Mudhiyyah, beliau berkata: Segolongan daripada salaf dalam mentafsirkan firman Allah Ta’ala yang bermaksud: “Ketahuilah dengan dhikrullah itu, tenang tenteramlah hati-hati manusia”. Ianya adalah  menyebut para shahabat Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم yang telah hasil bagi mereka kemuliaan seperti ini, kerana: mereka pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم , ilmu yang mereka raih dan mereka telah mengikuti Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dengan sebaik-baiknya. Para tabi’in juga  memiliki kemuliaan yang sedemikian, maka dengan menyebut mereka tenteramlah dengannya hati-hati. Dan demikian juga orang-orang yang sesudah mereka yang mengikuti mereka sebaik-baiknya sehingga hari kiamat. (tamat petikan tulisan Syeikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah)

Di dalam kitab Jala adh-Dholaam ‘ala ‘Aqidatil Awwam pula disebutkan: Ketahuilah! Sayogia bagi setiap muslim yang menuntut kelebihan dan kebaikan (dari Allah Ta’ala) bahwa dia mencari barakah, nafahat, makbulnya doa dan turunnya curahan rahmat pada auliya’ di dalam majlis perhimpunan mereka, samada ketika mereka masih hidup atau telah meninggal dunia, ketika berada disisi kubur mereka atau ketika berziarah atau ketika menyebut keutamaan mereka dan membaca manaqib mereka.

Dan di dalam di dalam kitab Ainul Adab was Siyasah, halaman 158, disebutkan: Sayyiduna Umar bin al-Khattab رضي الله عنه berkata: “Hendaklah kalian mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang memiliki keutamaan, kerana hal itu termasuk dari kemuliaan dan padanya terdapat kedudukan dan kenikmatan bagi jiwa”.

Di dalam kitab tersebut juga, menyebut: Ali bin ‘Abdurrahman bin Hudzail berkata: “Ketahuilah, bahawa membaca kisah-kisah dan sejarah-sejarah tentang orang yang memiliki keutamaan akan memberikan kerehatan (kesenangan) dalam jiwa seseorang. Kisah-kisah tersebut akan melegakan hati serta mengisi kehampaan. Membentuk watak yang penuh semangat dilandasi kebaikan, serta menghilangkan rasa malas”.

Kata al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Hussin al-Habsyi رضي الله عنه (pengarang kitab Maulid Simtud Durar): Jika riwayat hidup kaum ‘arifin dibacakan kepada orang yang beriman, maka keimanannya kepada Allah akan semakin kukuh. Sebab, kehidupan mereka merupakan cermin daripada Kitabullah yang didalamnya terkandung ilmu orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian atau gambaran dari hadits-hadits Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم atau dari pengetahuan yang dia terima langsung dari Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tanpa perantara.

Al-'Arifbillah al-Quthb al-Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas رضي الله عنه  sewaktu beliau berada di kota Tarim pada suatu majlis yang dihadiri oleh banyak orang dari golongan Saadah Bani Alawi dan lainnya. Setelah selesai pembacaan kitab dan qasidah daripada kalam salaf (para leluhur ahlulbait terdahulu), beliau رضي الله عنه  berkata: Apabila seseorang merasakan hatinya susah atau anggota badannya terasa malas untuk melakukan amal kebajikan, maka lihatlah atau bacalah kalam (ucapan) para salaf, agar hilang perasaan susah dan rasa malas yang ada pada dirinya. Janganlah seseorang memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak mampu untuk dilakukan. Bertakwalah kepada Allah semampumu. Bersyukurlah kepada Allah jika engkau diberi taufiq untuk dapat melakukan amal-amal shaleh.


Dalam kitab/buku Al-Qirthos fi Manaqibil 'Atthos hal 43., Habib Ali bin Hasan Al-'Aththas menulis, "Di antara hal yang mendorongku untuk menulis buku ini adalah apa yang disebutkan oleh pengarang kitab A'malut Tarikh : "Barang siapa menulis tarikh seorang wali Allah Ta'ala maka kelak di hari kiamat ia akan bersamanya. Dan barang siapa membaca nama seorang wali Allah dalam kitab tarikh dengan rasa cinta, maka ia seakan-akan menziarahinya. Dan barang siapa menziarahi wali Allah, maka semua dosanya akan diampuni Allah selama ia tidak mengganggu seorang muslim pun dalam perjalanannya."

Kabar gembira di atas tentu tidak hanya menyenangkan hati Habib Ali bin Hasan yang telah menulis Al-Qirthos, tapi juga kita. Itulah sebabnya kami tuliskan nama orang-orang yang dicintai Allah berikut kisah hidup dan ajaran mereka dengan harapan agar kita semua dapat mengenal, menyayangi, dan meneladani mereka.


Rabu, 02 Oktober 2013

AQIDAH dan THARIQAH SALAF AL-’ALAWIYYIN

Posted by Mustafa shodiq On 04.22 No comments





Al-Habib Al-Imam Al-Qutbh ‘Abdullah b. ‘Alwi Al-Haddad, berkata : “Hendaknyalah anda membentengi (imanmu), memperbaiki dan meluruskannya sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh golongan yang selamat di Akhirat (Al-Firqah An-Najiah). Golongan ini terkenal di kalangan kaum muslimin dengan sebutan golongan “Ahlus Sunah Wal-Jamaah“.

Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rasul Allah saw dan Sahabat-sahabatnya.

Apabila anda perhatikan dengan fikiran yang sehat dan hati yang bersih nash-nash (teks-teks) Al Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan keimanan, kemudian anda pelajari perilaku para Salaf baik Sahabat maupun Tabi’in maka anda akan tahu dan yakin bahwa kebenaran akan berada di fihak mereka yang terkenal dengan sebutan Al­-Asy’ariyah, yang pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari, yang telah menyusun kaidah-kaidah (keyakinan) golongan yang berada di pihak yang benar serta telah meneliti dalil ­dalilnya. Itu pulalah aqidah yang telah disepakati oleh para Sahabat nabi serta generasi­ generasi berikutnya dan para Tabi’in yang saleh dan itu pulalah agidah orang-orang yang mengikuti kebenaran di mana saja dan kapan saja. Aqidah dan keyakinan itu juga dianut oleh semua ulama Tasawuf, seperti diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya.
 
Imam Ahmad Al-Muhajir, kakek para Sadah ‘Alawiyyin, yaitu Imam Ahmad Al-Muhajir b. ‘Isa b. Muhammad b. ‘Ali b. Imam Ja’far Ash-Shadiq setelah memperhatikan munculnya berbagai macam bid’ah dan berkecamuknya berbagai macam fitnah serta perselisihan faham di negeri Irak, beliau lalu berhijrah meninggalkan negeri ini berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain hingga sampai ke Hadramaut di Yaman, kemudian beliau tinggal di negeri ini sampai wafat. Maka Allah telah memberkahi keturunannya sehingga terkenallah banyak tokoh dari keluarga ini dalam ilmu, ibadah mari’fah dan kewalian. Mereka tidak mengalami apa yang dialami oleh golongan-golongan Ahlul Bait yang lain dengan mengikuti berbagai bid’ah dan faham yang sesat. Semua itu adalah berkat niat yang suci Imam Ahmad Al-Muhajir yang telah melarikan diri dari fitnah, demi menyelamatkan agama dan aqidahnya dari pusat-pusat fitnah.

Semoga Allah membalas jasa baik Imam ini dengan sebaik-baiknya dan mengangkat derajatnya bersama datuk-datuknya yang mulia di Surga Alliyin serta memberi kita taufik untuk mengikuti jejak dan langkah mereka dalam keadaan sehat wal’afiat, tanpa merubah atau mendapat coba dan fitnah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Maha Pengasih.
 
Madzhab Maturidiyah dalam hal ini sama dengan Madzhah Asy’ariyah. Maka setiap orang yang beriman hendaknya membentengi aqidahnya dengan menghafal (mempelajari) salah satu aqidah yang disusun oleh seorang Imam yang telah disepakati keagungannya serta kedalaman ilmunya. Saya rasa orang yang mencari pelajaran agidah semacam itu tidak akan mendapatkan selengkap dan sejelas aqidah yang disusun oleh Imam AI-Ghazzali r.a. Aqidah ini telah disampaikan pada bagian awal dari kitab “Qawa’id Al Aqo’id” dalam kitab Al-Ihya’ (Ihya’ Ulum Addin - karya Imam Al­-Ghazzali). Maka hendaklah anda menghafalnya ( mempelajarinya). Adapun jika anda kurang puas (dengan kitab itu) hendaklah anda mempelajari “Ar-risalah Al-Qudsiyah yang tersurat pada pasal ketiga dalam Kitab Ihya’ tersebut.
 
Dalam hal ini, hendaknya anda tidak terlalu berlebihan dalam mempelajari ilmu “Tauhid” serta tidak perlu terlalu banyak memperbincangkannya dengan semata-mata mencari hakikat (kebenaran) tentang ke Tuhanan, sebab anda tidak akan memperolehnya melalui ilmu ini. Adapun jika anda ingin mencapai tingkat ma’rifah, hendaknya anda mengikuti tharigah yang ditempuh para Salaf (pendahulu) kita, yaitu dengan berpegang teguh pada ketaqwaan baik lahir maupun batin, merenungi dan mentadabburi ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits Nabi serta riwayat orang saleh, berfikir tentang kerajaan langit dan bumi dengan tujuan mengambil pelajaran dari padanya, mendidik akhlaq serta memperhalus budi yang kasar melalui latihan-latihan rohani (riyadhah), membersihkan cermin kalbu dengan banyak berdzikir, berpaling dari soal­ soal yang melalaikan dari hal-hal tersebut. Apabila telah menempuh jalan ini, Insya Allah anda akan mencapai tujuan itu serta rnemperoleh apa yang diharapkan.
 
Dalam beberapa pasal dalam kitabnya, Al-Imam Al-‘Aydarus menegaskan : ” Barang siapa meyakini hulul (menitisnya Ruh Allah dalam diri makhluk) atau menyatunya Tuhan dengan makhluk (wahdutul wujud), maka orang ini telah menjadi kafir“.

Dalam sebagian pasal yang lain beliau menulis : “Aqidah yang kita anut adalah aqidah Asy’ariyah dan madzhah kita dalam Fiqh (hukum-hukum Agama) adalah Madzhab Syafi’i, sesuai dengan Kitab Allah (Al Qur’an) serta Sunnah Rasul Allah”.
 
Pada sebagian Risalah yang lain beliau menulis : “Allah adalah Tuhan yang hidup kekal (hayyun) dan terus-menerus mengurus makhluk-Nya (Qayyum),. Dialah yang mewujudkan segala yang ada “. Pernyataan demikian sesungguhnya merupakan sanggahan bagi mereka yang meyakini “Wahdatul Wujud” menyatunya hamba dengan Tuhan, bagi mereka yang mengetahui maksud-maksud filsafah Yunani, India dan Majusi. Imam Al-‘Aydarus juga menyatakan : “Aqidah kita adalah aqidah Asy’ariyah, Hasyimiyah, Syar’iyah, sesuai dengan Madzhab Syafi’i yang menganut Sunnah dan Tasawuf”. Beliau sering mengulang-ulang pernyataan semacam ini sehingga cukup meyakinkan. Apa yang kami sebutkan di atas merupakan ringkasannya.
 
Habib ‘Abdullah Al-Haddad juga telah menyusun aqidah yang ringkas lagi lengkap dimana penulis (Sayyid ‘Alwi b. Thahir Al-Haddad) telah menulis pengantarnya, antara lain sebagai berikut :

“Dan kami telah mengawalinya dengan aqidah yang para salaf (pendahulu­ pendahulu kita) mengajarkannya kepada keluarga, sanak saudara serta para tetangga, baik yang jauh maupun yang dekat, serta orang-orang awam di negeri mana mereka tinggal. Aqidah itu besar pengaruhnya, agung manfa’atnya, bahkan merupakan pusaka iman yang mengandung arti penyerahan dan ketundukan mutlak (Kepada Tuhan) serta penerimaan penuh atas apa yang telah disampaikan oleh Nabi utusan Allah yang mulia S.A.W. berupa ajaran Islam yang suci”. Pada kitab itu Imam Al-Haddad menyatakan : “Penutup kitab ini adalah sebuah aqidah yang ringkas dan sangat bermanfa’at, Insya Allah, sesuai jalan yang ditempuh oleh Al-Firqah An-Najiah (golongan yang selamat di Akhirat), yaitu golongan Ahlussunah Wal Jama’ah, golongan yang merupakan Assawad Al-A ‘dham (mayoritas umat ini).”
Di dalam kitab “Al-Masyra “Arrawiy” dinyatakan : Dahulu matahari ilmu dan kewalian Al-Habib Al-Imam ‘Abdullah Al-‘Aydarus apabila hendak mengikat janji murid yang hendak mengikuti thariqatnya, beliau menyuruh murid itu supaya terlebih dahulu bertaubat dan beristighfar (mohon ampun) kemudian murid itu disuruh mengatakan : Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul utusan Allah, hari akhirat dan taqdir yang baik dan yang buruk dari Allah. Aku beriman dengan adzab kubur dan kenikmatan di dalamnya, pertanyaan kedua malaikat (Munkar dan Nakir), hari kebangkitan, timbangan, shirat, surga dan neraka. Aku telah ridha (mengakui) Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah. Aku telah ridha (senang dan puas) engkau sebagai guru dan perantara penunjuk jalan kepada Allah SWT.

Kemudian beliau berkata : “Dalam soal furu’ (cabang agama yang berhubung dengan fiqh) kita menganut Madzhab Imam Syafi’i dan dalam bidang ushul (ilmu yang berhubungan dengan Tauhid dan ketahanan/aqidah) kita menganut Madzhab Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, sedang thariqat kita adalah tharigat ahli-ahli Tasawuf. Demikian pula dinyatakan oleh Al-Quthb Al-‘Aydarus dalam kitabnya Al-Juz Al-Latif.


Dalam sepucuk surat yang ditulis oleh Habib ‘Abdullah b. ‘Alwi Al-Haddad kepada saudaranya Al-Habib Hamid yang tinggal di India, beliau menulis : “Sesungguhnya telah sampai berita kepada kami betapa hebat fitnah yang menyesatkan yang telah terjadi di sana (India), malapetaka dan bencana yang menimpa negeri itu secara terus menerus, serta perselisihan dan perpecahan yang terjadi di antara penduduknya di mana tidak pernah ada kerukunan. Adapun yang lebih buruk dan lebih keji dari semua itu adalah apa yang telah sampai kepada kami yaitu yang timbulnya kebencian terhadap kedua sesepuh Islam (Asy-Syaikhain) Abu Bakar Ash-Shiddiq dan ‘Umar Al-Faruq Radhia Allahu A’nhuma sebagai dianut oleh golongan “Rafidhah yang tercela, baik ditinjau dari segi syari’ah, maupun menurut akal sehat. ‘Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un. Hal ini merupakan musibah yang besar dan malapetaka yang sulit dihilangkan.
 
Dalam sepucuk surat lain kepada salah seorang muridnya, Habib ‘Abdullah b. ‘Alwi Al-Haddad menulis : “Menyebutkan Madzhab atau faham lain tidaklah berarti keharusan mengikuti Madzhah atau faham itu. Adalah merupakan kebiasaan para pengarang dan para ulama untuk menyebutkan dan menukil Madzhab-madzhab lain dan mengutip ucapan-ucapan mereka, baik yang sejalan maupun yang bertentangan dengan mereka, adapun yang terlarang dan tidak dapat dibenarkan adalah (berkeyakinan) membatasi hak menjabat kedudukan Imaman hanya pada mereka saja, seperti dinyatakan oleh golongan yang bertentangan dengan kita. Semoga Allah memberi taufiq pada kita semua dan menjadikan kita di antara orang-orang yang diberi petunjuk kepada kebenaran dalam soal-soal yang diperselisihkan orang. ”
 
Habib ‘Alwi b. Ahmad b. Hasan b. ‘Abdullah Al-Haddad menulis sebuah komentar bait syair datuknya Habib ‘Abdullah Al-Haddad, berikut :  

 “Madzhab yang lurus aku ikuti sesuai Kitab Allah dan Sunnah Nabi”.  Habib Ahmad tersebut menulis “Madzhab lurus yang dimaksud adalah Madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah, aku mengikuti Madzhab itu seperti bapak-bapakku dan kakek-kakekku dan Nabi Muhammad, ‘Ali, Hasan dan Husein sampai pada seluruh salaf Al-‘Alawiyyin. “

  
Guru besar kami Habib Muhsin b. ‘Alwi Assegaf dalam kitabnya : “Ta’rif Al-Khalaf Bi Sirat Al-Salaf’ telah menulis pernyataan yang hampir sama dengan yang apa yang kami kemukakan tadi. Kemudian beliau mengutip dari kitab : “Ghurar Al Baha’ Al Dhawi” karya ulama ahli Hadits terkenal Allamah Sayyid Muhammad b. ‘Ali Kharid Al-’Alawi Al-Husaini sebagai berikut : Sayyid ‘Ubaidillah b. Ahmad Al-Muhajir b. ‘Isa beserta anak cucunya mereka adalah para Syarif keturunan Imam Al-Husain yang hidup di negeri Yaman (Hadramaut). Jarang ada orang seperti mereka, Tharigah para Syarif ini adalah Madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah, akhlak mereka mengikuti akhlak Nabi. Orang yang insaf dan sadar akan mengakui bahwa mereka benar-benar para Sayid dan tokoh-tokoh mulia, budi luhur, Habib Muhsin tersebut kemudian mengutip dari Habib ‘Abdullah Al-Haddad, katanya : Ada dua orang yang sangat besar jasanya terhadap keluarga Al-Ba’alawi, yaitu :

PERTAMA, Sayyidina Ahmad Al-Muhajir b. ‘Isa  yang telah membawa mereka keluar meninggalkan fitnah dan bid’ah (di negeri Irak) dan membawa mereka hijrah ke negeri Yaman (Hadramaut).

KEDUA adalah Al-Fagih Al-Muqaddam yang telah membebaskan mereka menyandang senjata sehingga mereka dapat berkonsentrasi untuk ilmu dan da’wah. Para salaf dahulu melarang orang mendalami tauhid. mereka menerima ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits Nabi SAW. yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT. serta ayat-ayat mutasyabihat lainnya dengan penyerahan bulat-bulat, tanpa rnempersoalkannya secara njelimet disertai pensucian bagi Allah dengan sesuci-sucinya dari segala sifat kekurangan dan cela seraya mengagungkan-Nya dengan seagung-agungnya.
 
Habib Abdullah Al-Haddad berkata :”Kita berpegang dengan ajaran-ajaran Imam Al-Asy’ari karena beliau berpendirian : Beriman kepada Allah, kepada ayat-ayat Allah, kepada para Rasul utusan Allah sesuai apa yang dimaksud dan dikehendaki oleh Rasul Allah”. Demikian kurang lebih ucapan beliau yang masih dapat kami ingat.

Dalam kitab Al-lbanah karya Imam Al-Asy’ari yaitu sebuah kitab yang membahas soal-soal aqidah lengkap berdasarkan aqidah yang menjadi pegangan salaf, baik para Sahabat maupun para Tabi’in, Imam Asy’ari menulis : “Ringkasan pendirian kami adalah : Kita mengakui Allah, mengakui para Malaikat, Kitab-kitab (suci), Rasul-­rasul serta ajaran yang mereka sampaikan dari Allah, serta riwayat-riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang terpercaya dari Rasul utusan Allah, semua itu tidak ada sedikitpun yang kami tolak. Kita juga tidak mengada-ada dalam agama Allah sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah (yakni sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam agama), atau mengatakan sesuatu terhadap Allah yang tidak kami ketahui hakikatnya“. Kata beliau pula “Al-Qur’an kita terima sesuai dengan arti yang tersurat, kita tidak dapat mengartikan lain kecuali dengan hujjah (dalil) yang jelas”.
 

Anda juga hendaknya berkeyakinan bahwa apa yang dinyatakan oleh para Salaf (pendahulu-pendahulu) kita bahwa sejak datuk-datuk mereka hingga kini mereka adalah penganut Madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah adalah nyata dan benar, tidak dapat dita’wilkan atau ditakhsiskan dan tidak dapat pula disanggah oleh mereka yang hendak menyanggah, atau kritik dan pendustaan orang-orang yang kebelinger, dan bahwa apa yang dinyatakan mereka itu benar-benar diterima oleh mereka secara turun-menurun dari kakek kepada cucu dan ayah kepada anak serta dari mereka yang terdahulu kepada mereka yang datang kemudian, dikuatkan pula dengan kutipan-kutipan yang jelas melalui silsilah riwayat (sanad) sesuai kaidah-kaidah ilmu Hadits. (Ulama Ahlul Bait menerima ilmunya dari para Sahabat dan Tabi’in, para Sahabat dan Tabi’in juga menerima ilmunya dari Ahlul Bait.
 
Al-Hafidh Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitabnya “Hilyalul Aulia” yaitu Hiasan para wali, beliau berkata “Telah datang kepadaku, segolongan penduduk negeri Iraq. Mereka mencela Sahabat-sahabat Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman.
Setelah selesai  memaki-maki, Imam ‘Ali Zayn Al-‘Abidin balik bertanya kepada mereka : “Maukah kalian menerangkan kepadaku, apakah kalian termasuk orang-orang yang melakukan hijrah pada tahap awal (Al-Muhajirun Al-Awalun) karena diusir dari kampung halaman mereka serta menuntut anugrah dari ridha Allah dan Rasul-Nya, sedang mereka itulah orang-orang yang benar ! “
 Mereka menjawab ” Bukan “. 
Imam ‘Ali Zayn Al-‘Abidin kembali bertanya : “Adakah kalian penduduk negeri Madinah yang telah beriman (Kaum Anshar) sebelum datang kaum Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang hijrah kepada mereka dan tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin, serta mengutamakan kaum Muhajirin itu daripada diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kesusahan? Dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung? Apakah itu kalian?”
Mereka kemudian menjawab : “Bukan“.
Imam ‘Ali Zayn Al-‘Abidin kemudian berkata : “Kini kalian telah mengakui tidak termasuk kedua golongan yang disebutkan Allah dalam kedua ayat itu. Aku juga bersaksi kalian tidaklah termasuk golongan yang disebutkan dalam ayat ini. Dan mereka yang datang kemudian sesudah mereka itu berdo’a : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah dahulu beriman dan janganlah engkau biarkan kedengkian (bersemayam) di dalam hati kami terhadap orang-orang yang telah beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun Maha Penyayang “. Enyahlah, kata Imam ‘Ali Zayn Al-‘Abidin, Semoga Allah menindak kalian.
 
  
Diriwayatkan pula dengan sanadnya kepada Yahya bin Sa’id, katanya : Saya mendengar ‘Ali bin Husain menjawab pertanyaan orang-orang yang datang mengerumuninya (katanya) :
Cintailah kami sesuai dengan ajaran Islam, semata-mata untuk Allah. Sesungguhnya makin lama cinta kalian (yang melampaui batas ini) malah menjadi a’ib yang memalukan bagi kami “.

 Demikian itulah sebagian pernyataan yang diriwayatkan dari Sayyidina ‘Ali Zayn Al-‘Abidin Ibn. Al-Husain.
 
Abu Na’im juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far Muhammad Al-­Bagir, katanya :
Saya bertanya kepada Abu Ja’far (Al-Bagir) tentang hukum menghias pedang.
Beliau menjawab : “Tidak mengapa (boleh). Abu Bakar Ash-Shiddiq dahulu menghias pedangnya.”
Saya berkata : “Engkau juga mengatakan Ash-Shiddiq?
Beliau (Abu Ja’far) lalu menghadap ke kiblat dan berkata : Benar Ash-Shiddiq, dan barang siapa tidak mengatakan Ash-Shiddiq, Allah tidak akan membenarkan ucapannya baik di dunia maupun di akhirat “.

Diriwayatkan pula dengan sanadnya dari Jabir, katanya : Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zayn Al-‘Abidin berkata kepadaku :
Hai Jabir, aku mendengar ada segolongan orang Iraq beranggapan bahwa mereka cinta kepada kami (Ahlul Bait) dan mencela Abu Bakar dan ‘Umar, Raddhi Allahu Anhuma. Mereka juga beranggapan akulah yang menyuruh mereka berbuat demikian. Maka sampaikanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri (bari’) terhadap apa yang mereka lakukan. Demi Allah dan jiwa Muhammad (Al-Bagir) ada di tangannya kalau sekiranva aku berkuasa niscaya aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah mereka. Dan semoga aku tidak mendapat syafa’at Muhammad SAW. jika aku tidak memohonkan ampunan dan rahmat bagi mereka, akan tetapi musuh-musuh Allah senantiasa lalai terhadap keduanya “.

Diriwayatkan pula dengan sanadnya dari Syu’bah Al-Khayyath, katanya : “Abu Ja’far Muhammad b. ‘Ali Zayn Al-‘Abidin berkata kepada saya ketika kami sedang berpamit kepada penduduk negeri Kuffah (salah satu kota di Iraq) : “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap mereka yang tidak mengakui kebenaran Abu Bakar Ash-Shiddiq dan ‘Umar Radhi Allahu Anhuma “.


Diriwayatkan pula dengan sanadnya dari Abu Ishaq dari Abu Ja’far Muhammad b. ‘Ali Zayn Al-‘Abidin , katanya : “Orang yang tidak mengakui jasa Abu Bakar dan ‘Umar sesungguhnya orang ini tidak mengakui sunnah “.

Ibnu Fudhail meriwayatkan dari Salim b. Abi Hafshah, katanya : “Saya bertanya kepada Abu Ja’far Muhammad Al-Bagir dan putranya (Ja’far Ash-Shadiq) tentang Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka menjawab : “Akuilah dan cintailah keduanya serta berlepas dirilah dari musuh-musuh mereka, sesungguhnya keduanya adalah Imam-imam yang mengikuti kebenaran “. Al Hafidh Ad-Dzahabi menyatakan bahwa sanad riwayat ini shahih. Ibnu Fudhail dan Salim adalah tokoh-tokoh Syi’ah yang benar.

Hafsu Ibnu Ghiats berkata : “Saya mendengar Ja’far Asshadiq b. Muhammad Al-Bagir berkata: “Tiadalah aku mengharap syafa’at dari ‘Ali melainkan aku mengharap syafa’at serupa pula dari Abu Bakar”. Salim b. Abi Hafshah berkata : Saya mendatangi Ja’far b. Muhammad, menjenguk beliau ketika sedang sakit, Ja’far berkata : “Ya Allah sesungguhnya aku mencintai Abu Bakar dan ‘Umar serta mengakui rnereka sebagai pemimpin. Ya Allah, jika sekiranya di dalam hatiku ada perasaan selain demikian, maka semoga aku tidak mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW”. Salim ini adalah seorang yang dapat dipercaya (thigah), hanya saja dia seorang Syi’ah yang ekstrim membenci kedua sesepuh (Assyaikhain) Abu Bukar dan ‘Umar,’“. (Penulis buku ini Habib ‘Alwi b. Thahir Al-Haddad memberi komentar sebagai berikut : Keterangan terakhir yang menyatakan bahwa pembawa riwayat ini adalah seorang Syi’ah yang ekstrim malah dapat menjadi bukti yang kuat atas kebenaran riwayat ini, karena dia meriwayatkan sesuatu yang dapat menjadi alasan yang kuat bagi mereka yang bertentangan dengan dia, lagi pula dia meriwayatkannya dari Imam Ja’far Asshadiq yang diakui sebagai salah seorang imamnya. Demikian Habib ‘Alwi b. Thahir Al-Haddad. 1
 
Abbas Al-Hamdzani meriwayatkan katanya : “Ketika kami akan pergi meninggalkan kota Madinah,  Imam Ja’far Ash-Shadiq b. Muhammad Al-Bagir datang kepada kami dan berkata “Kalian Insya Allah tergolong orang-orang terbaik di negeri kalian, maka hendaklah kalian sampaikan kepada penduduk negerimu dari aku (Ja’far Ash-Shadiq) hal-hal sebagai berikut : Barang siapa beranggapan aku ini sebagai imam yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri dari orang itu dan barang siapa beranggapan aku berlepas diri dari Abu Bakar dan ‘Umar dan tidak mengakui rnereka sehagai khalifah yang sah, maka aku berlepas diri dari padanya”.
 

Dalam kitab Masyra’ Arrawiy) diriwayatkan : “Ada orang bertanya kepada Ja’far Ash-Shadiq (katanya) ada segolongan orang beranggapan orang yang mengucapkan talak (cerai) tiga sekaligus tanpa pengetahuan, maka talak itu dikembalikan kepada sunnah menjadi satu talak dan mereka rneriwayatkan dari anda “. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab: “Semoga Allah melindungi kami (dari hal itu), Kami tidak pernah berkata demikian. Barang siapa rnengucapkan talak tiga (sekaligus), maka berlakulah apa yang diucapkannya”.

Muhammad b. Manshur berkata : “Saya bertanya kepada Ahmad bin ‘Isa bin Zaid, tentang seseorang yang mengucapkan talak tiga terhadap istrinya. Ahmad bin ‘Isa menjawab : “Berlakulah talak itu dan bercerailah dia dari istrinya. Kita tidak berpendirian seperti golongan Rafidhah “.